Senin, 25 April 2016

Nude Urguine : Ritual Adat Suku Kury dalam Memperkenalkan Keturunan Kepada Alam Semesta



Hentakan kaki mama-mama Papua kian keras, mengikuti irama musik yang dimainkan kaum adam diatas Seirus. Hampir tiga puluh orang masyarakat adat menari diiringi tifa panjang, dalam rumah panggung berukuran sepuluh kali empat meter, yang ditopang bambu sebagai alasnya, serta kayu untuk tumpuan tiang penyanggah. Tarian tifa panjang,  biasanya masyarakat asli di Kabupaten Kaimana ini menyebutnya. Tarian sakral ini jamak ditemui dalam tiap ritual budaya, khususnya di masyarakat pesisir Papua. Hari ini, tari tifa panjang bergema mendampingi ritual adat perkenalan generasi penerus kepada alam semesta.

Serius : Rumah Adat Suku Kury


Nude Urgine
Maret 2016, Tim Ekspedisi NKRI Sub Korwil 8 Kaimana, menghadiri hajat Nude Urgine yang diadakan oleh keluarga Amir Ufniah yang merupakan masyarakat adat Suku Kury di Kab. Kaimana.

“ Ini ritual adat yang biasa tong pu tete nene lakukan untuk kasih kenal tong pu anak cucu kepada penguasa alam” ujar Haji Abdul Mad Fuarada, yang merupakan masyarakat adat Suku Kury berumur 65 tahun ini. Ditambahkan beliau, Nude Urgine dalam bahasa Kury atau potong rambut dan mengukur hidung dalam bahasa Indonesia, memiliki makna menghilangkan pamalih yang terdapat di alam seperti makanan, hewan tertentu, tempat tertentu dan lainnya. Sehingga anak-anak dari keluarga tersebut dapat hidup membumi selaras dengan alam. Ritual ini hanya dilakukan pada mohumta  atau anak pertama. Pada awalnya Nude Urgine dilakukan secara adat saja, namun seiring berkembangnya agama,  berasimilasi menjadi budaya baru.

Ritual potong rambut, dan ukur hidung dimulai secara agama Islam didalam rumah tinggal dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan keliling kampung didampingi keluarga dari pihak laki-laki, seperti Bapa tua (Paman), Bapa Ade, Mama Tua (Bibi), serta Mama Ade. Penyematan kain dilakukan oleh Mama Tua dari mohumta sebelum melakukan perjalanan . Dahulu, kain yang dipakai berupa kulit kayu, namun saat sekarang ini telah berganti menjadi kain tulis biasa. Simbol lain berupa tanaman diwakilin tebu, serta membakar serabut kelapa yang memiliki makna memohon ijin kepada alam semesta, turut mengiringi prosesi perjalanan mohumta menuju rumah adat.

Terdapat simbol menarik yang tersemat diatas kepala ibu mohumta, yaitu burung Cendrawasih, dan ikat kepala dari kulit kayu. Menurut Haji Muhammad Nur Tumeka, Cendrawasih melambangkan orang Papua asli  yang memiliki hajat, serta kulit kayu bermakna pakaian adat pada waktu lampau. Terdapat juga gambaran hewan laut dan darat seperti, ikan, buaya,ular dan lainya, yang dilukis pada selembar kain putih memiliki filosofi, bahwa  bahwa hewan tersebut sudah dapat dimakan setelah prosesi ritual, serta beberapa hewan akan menjaga keluarga yang memiliki hajat untuk kemudian hari.

Ritual dilanjutkan  rombongan naik  ke atas rumah Adat yang biasa dalam bahasa Kury dinamakan Seirus, sambil bernyanyi dan menari diiringi alat musik tifa panjang. Nyanyian terdiri dari sembilan lagu berbeda, diakhiri pemilik hajat bersama mohumta  masuk ke dalam kamar khusus yang telah disediakan. Ritual utama pemotongan rambut, serta mengukur hidung dilakukan secara sakral oleh pihak keluarga, pada pagi hari di hari berikutnya. Menggunakan lidi kelapa raja, hidung mohumta diukur dari dahi menuju ujung hidung untuk panjang, sedangkan lebar hidung diukur dari ujung anan ke kiri dari lubang hidung.


Tari Tifa menggiringi Prosesi Nude Urguine




  
 
Simbol Kain Putih dan Burung Cendrawasih : Nude Urguine
 
Suku Kury, Rumah Adat Seirus, serta perkembangannya



Suku Kury merupakan Suku asli di Kab. Kaimana. Dalam budaya di Kabupaten yang terkenal dengan keindahan senjanya ini, Suku Kury melambangkan bangsa perempuan, sedangkan Suku Maerasi adalah bangsa laki-laki. Hasil perkawinan kedua Suku ini menghasilkan beberapa Suku Lainnya, seperti Suku Irarutu dan Oburau. Suku Kury mendiami wilayah di Teluk Arguni, yang tersebar dari daerah dataran  rendah menuju pedalaman di ketinggian. Bahasa yang diujarkan adalah bahasa Kury, yang memiliki dialek yang hampir sama dengan bahasa Irarutu.

Kepercayaan yang dianut oleh Suku Kury pada masa sebelum masuknya agama adalah pemujaan kepada roh-roh halus yang menghuni alam semesta. Kepercayaan tersebut dikenal dengan sebutan kepercayaan mon.  Menurut kepercayaan mon alam semesta ini dikuasai oleh roh-roh halus yang tidak tampak. Roh-roh halus itu memiliki kekuatan-kekuatan magis yang dapat mendatangkan keberuntungan dan kebahagian kepada manusia apabila manusia berbuat kebaikan, sebaliknya dapat mendatangkan malapetaka bagi manusia jika ternyata berbuat hal-hal yang buruk dan tercela.

Untuk menjalani ritual mon, Suku Kury memiliki tempat peribadatan yang bernama Seirus. Seirus atau Seirosa sendiri merupakan rumah panggung, terbuat dari bahan-bahan alami, yaitu kayu sebagai penopang tiang, bambu dijadikan alas lantai, serta daun sagu sebagai atapnya. Seirus adalah rumah adat, atau rumah ibadah secara budaya pada masa lampau. Rumah ini memiliki ornamen yang tiap bagiannya memiliki arti. Seperti pada bagian depan Seirus terdapat gambar Naga dan Buaya. Buaya yang hidup di dua alam, yaitu darat dan laut memiliki makna penjaga yang baik, sedangkan Suku Kury mengenal serta mempercayai bahwa Naga memiliki peran sebagai pelindung. Baik melindungi hasil laut, dan darat, serta menjaga potensi sumber daya alam tetap lestari. Terdapat satu buah kamar tertutup dalam Seirus, yang berfungsi sebagai ruang rahasia, dimana tempat berbicara hal yang berhubungan khusus dengan keluarga, seperti menyimpan rahasia keluarga atau rahasia adat. Kamar tersebut tertutup dan hanya dapat digunakan untuk kepentingan tertentu.

Seirus sudah digunakan sebagai rumah adat sejak masa gelap atau kafir. Adat berfungsi sebagai mengatur kehidupan manusia pada Suku Kury, dimana sudah mengakar dalam tiap sendi kehidupan. Di Seirus, aktivitas keagamaan berlangsung pada masa lampau. Namun, dengan berkembangnya agama, adatpun menyesuaikan, serta tetap melaksanakan ritual adat di dalam rumah adat. Dapat dikatakan Seirus adalah pondasi awal mula adat itu.

Simbol Naga di Rumah Adat Seirus


 
Makna Nude Urguine bagi Tim Ekspedisi NKRI Sub Korwil 8 Kaimana    

Salah satu tujuan Tim Ekspedisi NKRI datang ke  Papua Barat adalah belajar budaya masyarakat lokal. Budaya merupakan hasil keseharian yang membentuk karakteristik masyarakat, yang hidup pada ruang dan waktu tertentu. Mempelajari hal baru di daerah lain merupakan salah satu jalan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Bisa jadi, hal baru tersebut merupakan jalan menuju pembaharuan dalam konsep revolusioner yang dapat diadaptasi untuk beberapa kondisi.

Menurut Darumas, salah seorang Tim  Ekspedisi NKRI Sub Korwil 8 Kaimana, menyaksikan tradisi Nude Urgine memberikan pandangan baru mengenai dalamnya makna penghormatan budaya oleh masyarakat adat Suku Kury. Mereka masih melakukan ritual yang sudah ada sebelum agama diperkenalkan kepada Suku asli Kaimana ini. Di samping hal tersebut, agama dan budaya seperti dua konsep yang dapat berjalan bersama, tidak dapat dipisahkan, namun saling keterkaitan dan memiliki hubungan yang selaras. Ini bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia umumnya, yang acapkali memperdebatkan perbedaan. Dari ujung timur Pulau terbesar kedua di dunia ini, perbedaan kepentingan menjadi indah dalam persatuan atas nama keberagaman di tanah NKRI.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar