Hentakan
kaki mama-mama Papua kian keras, mengikuti irama musik yang dimainkan kaum adam
diatas Seirus. Hampir tiga puluh orang masyarakat adat menari diiringi tifa
panjang, dalam rumah panggung berukuran sepuluh kali empat meter, yang ditopang
bambu sebagai alasnya, serta kayu untuk tumpuan tiang penyanggah. Tarian tifa
panjang, biasanya masyarakat asli di
Kabupaten Kaimana ini menyebutnya. Tarian sakral ini jamak ditemui dalam tiap
ritual budaya, khususnya di masyarakat pesisir Papua. Hari ini, tari tifa
panjang bergema mendampingi ritual adat perkenalan generasi penerus kepada alam
semesta.
Serius : Rumah Adat Suku Kury |
Nude Urgine
Maret 2016,
Tim Ekspedisi NKRI Sub Korwil 8 Kaimana, menghadiri hajat Nude Urgine yang
diadakan oleh keluarga Amir Ufniah yang merupakan masyarakat adat Suku Kury di
Kab. Kaimana.
“ Ini
ritual adat yang biasa tong pu tete nene lakukan untuk kasih kenal tong pu anak
cucu kepada penguasa alam” ujar Haji Abdul Mad Fuarada, yang merupakan
masyarakat adat Suku Kury berumur 65 tahun ini. Ditambahkan beliau, Nude Urgine
dalam bahasa Kury atau potong rambut dan mengukur hidung dalam bahasa
Indonesia, memiliki makna menghilangkan pamalih
yang terdapat di alam seperti makanan, hewan tertentu, tempat tertentu dan
lainnya. Sehingga anak-anak dari keluarga tersebut dapat hidup membumi selaras
dengan alam. Ritual ini hanya dilakukan pada mohumta atau anak pertama.
Pada awalnya Nude Urgine dilakukan secara adat saja, namun seiring
berkembangnya agama, berasimilasi
menjadi budaya baru.
Ritual
potong rambut, dan ukur hidung dimulai secara agama Islam didalam rumah tinggal
dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan
keliling kampung didampingi keluarga dari pihak laki-laki, seperti Bapa tua
(Paman), Bapa Ade, Mama Tua (Bibi), serta Mama Ade. Penyematan kain dilakukan
oleh Mama Tua dari mohumta sebelum
melakukan perjalanan . Dahulu, kain
yang dipakai berupa kulit kayu, namun saat sekarang ini telah berganti menjadi
kain tulis biasa. Simbol lain berupa tanaman diwakilin tebu, serta membakar
serabut kelapa yang memiliki makna memohon ijin kepada alam semesta, turut
mengiringi prosesi perjalanan mohumta menuju rumah adat.
Terdapat
simbol menarik yang tersemat diatas kepala ibu mohumta, yaitu burung Cendrawasih, dan ikat kepala dari kulit kayu.
Menurut Haji Muhammad Nur Tumeka, Cendrawasih melambangkan orang Papua asli yang memiliki hajat, serta kulit kayu bermakna
pakaian adat pada waktu lampau. Terdapat juga gambaran hewan laut dan darat
seperti, ikan, buaya,ular dan lainya, yang dilukis pada selembar kain putih
memiliki filosofi, bahwa bahwa hewan
tersebut sudah dapat dimakan setelah prosesi ritual, serta beberapa hewan akan
menjaga keluarga yang memiliki hajat untuk kemudian hari.
Ritual
dilanjutkan rombongan naik ke atas rumah Adat yang biasa dalam bahasa
Kury dinamakan Seirus, sambil bernyanyi dan menari diiringi alat musik tifa panjang.
Nyanyian terdiri dari sembilan lagu berbeda, diakhiri pemilik hajat bersama mohumta masuk ke dalam kamar khusus yang telah
disediakan. Ritual utama pemotongan rambut, serta mengukur hidung dilakukan
secara sakral oleh pihak keluarga, pada pagi hari di hari berikutnya.
Menggunakan lidi kelapa raja, hidung mohumta diukur dari dahi menuju ujung
hidung untuk panjang, sedangkan lebar hidung diukur dari ujung anan ke kiri
dari lubang hidung.
Tari Tifa menggiringi Prosesi Nude Urguine |
Suku Kury, Rumah Adat Seirus, serta perkembangannya
Suku Kury
merupakan Suku asli di Kab. Kaimana. Dalam budaya di Kabupaten yang terkenal
dengan keindahan senjanya ini, Suku Kury melambangkan bangsa perempuan,
sedangkan Suku Maerasi adalah bangsa laki-laki. Hasil perkawinan kedua Suku ini
menghasilkan beberapa Suku Lainnya, seperti Suku Irarutu dan Oburau. Suku Kury
mendiami wilayah di Teluk Arguni, yang tersebar dari daerah dataran rendah menuju pedalaman di ketinggian. Bahasa
yang diujarkan adalah bahasa Kury, yang memiliki dialek yang hampir sama dengan
bahasa Irarutu.
Kepercayaan
yang dianut oleh Suku Kury pada masa sebelum masuknya agama adalah pemujaan
kepada roh-roh halus yang menghuni alam semesta. Kepercayaan tersebut dikenal
dengan sebutan kepercayaan mon. Menurut kepercayaan mon alam semesta ini
dikuasai oleh roh-roh halus yang tidak tampak. Roh-roh halus itu memiliki
kekuatan-kekuatan magis yang dapat mendatangkan keberuntungan dan kebahagian
kepada manusia apabila manusia berbuat kebaikan, sebaliknya dapat mendatangkan
malapetaka bagi manusia jika ternyata berbuat hal-hal yang buruk dan tercela.
Untuk
menjalani ritual mon, Suku Kury
memiliki tempat peribadatan yang bernama Seirus.
Seirus atau Seirosa sendiri merupakan rumah panggung, terbuat dari bahan-bahan
alami, yaitu kayu sebagai penopang tiang, bambu dijadikan alas lantai, serta
daun sagu sebagai atapnya. Seirus adalah rumah adat, atau rumah ibadah secara
budaya pada masa lampau. Rumah ini memiliki ornamen yang tiap bagiannya
memiliki arti. Seperti pada bagian depan Seirus terdapat gambar Naga dan Buaya.
Buaya yang hidup di dua alam, yaitu darat dan laut memiliki makna penjaga yang
baik, sedangkan Suku Kury mengenal serta mempercayai bahwa Naga memiliki peran sebagai
pelindung. Baik melindungi hasil laut, dan darat, serta menjaga potensi sumber
daya alam tetap lestari. Terdapat satu buah kamar tertutup dalam Seirus, yang
berfungsi sebagai ruang rahasia, dimana tempat berbicara hal yang berhubungan
khusus dengan keluarga, seperti menyimpan rahasia keluarga atau rahasia adat.
Kamar tersebut tertutup dan hanya dapat digunakan untuk kepentingan tertentu.
Seirus
sudah digunakan sebagai rumah adat sejak masa gelap atau kafir. Adat berfungsi
sebagai mengatur kehidupan manusia pada Suku Kury, dimana sudah mengakar dalam
tiap sendi kehidupan. Di Seirus, aktivitas keagamaan berlangsung pada masa
lampau. Namun, dengan berkembangnya agama, adatpun menyesuaikan, serta tetap
melaksanakan ritual adat di dalam rumah adat. Dapat dikatakan Seirus adalah
pondasi awal mula adat itu.
Simbol Naga di Rumah Adat Seirus |
Makna Nude Urguine bagi Tim
Ekspedisi NKRI Sub Korwil 8 Kaimana
Salah satu
tujuan Tim Ekspedisi NKRI datang ke
Papua Barat adalah belajar budaya masyarakat lokal. Budaya merupakan
hasil keseharian yang membentuk karakteristik masyarakat, yang hidup pada ruang
dan waktu tertentu. Mempelajari hal baru di daerah lain merupakan salah satu
jalan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Bisa jadi, hal baru tersebut
merupakan jalan menuju pembaharuan dalam konsep revolusioner yang dapat
diadaptasi untuk beberapa kondisi.
Menurut
Darumas, salah seorang Tim Ekspedisi
NKRI Sub Korwil 8 Kaimana, menyaksikan tradisi Nude Urgine memberikan pandangan
baru mengenai dalamnya makna penghormatan budaya oleh masyarakat adat Suku
Kury. Mereka masih melakukan ritual yang sudah ada sebelum agama diperkenalkan
kepada Suku asli Kaimana ini. Di samping hal tersebut, agama dan budaya seperti
dua konsep yang dapat berjalan bersama, tidak dapat dipisahkan, namun saling
keterkaitan dan memiliki hubungan yang selaras. Ini bisa menjadi pembelajaran
bagi masyarakat Indonesia umumnya, yang acapkali memperdebatkan perbedaan. Dari
ujung timur Pulau terbesar kedua di dunia ini, perbedaan kepentingan menjadi
indah dalam persatuan atas nama keberagaman di tanah NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar